kumpulan askep

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN APENDIKSITS





I. PENGERTIAN
Apendik adalah organ kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Karena apendik mengosongkan diri dengan tidak efisien, dan lumennya kecil, maka apendik mudah mengalami obttruksi dan rentan terhadap infeksi ( Apendiksitis )


Apendiksitis merupakan penyebab yang paling umum dan imflamasi akut kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen darurat.
II. TANDA DAN GEJALA
1 Nyeri difus yang timbul mendadak di daerah epigastrium atau periumbilikus
2 Dalam beberapa jam, nyeri lebih terlokalisasi dan dapat di jelaskan sebagai nyeri tekan di daerah kanan bawah
3 Pada titik Mc Burney ( terletak di antara umbilicus dan spina anterior dari ilium ) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian bawah otot rectus kanan
4 Nyeri lepas atau nyeri alih ( nyeri yang timbul sewaktu tekanan di hilangkan dari bagian yang sakit ) mungkin saja ada, mungkin letak apendik mengakibatkan sejumlah nyeri tekan, spasme otot, dan konstipasi atau diare kambuhan
5 Tanda Rovsing ( dapat di ketahui denagn mempalpasi kuadran kanan bawah yang menyebabkan nyeri pada kiri bawah )
6 Demam
7 Nyeri kuadran bawah biasanya disertai nausea, anoreksia, muntah- muntah dan suhu rendah
III. PATOFISIOLOGI



Reaksi pertama pada infeksi adalah reaksi umum yang melibatkan susunan saraf pusat dan system hormone yang menyebabkan perubahan metabolic. Pada saat itu terjadi reaksi jaringan imforetikularis di seluruh tubuh berupa proliferasi sel pagosit dan sel pembuat antibidi ( limfosit B )
Reaksi kedua berupa reaksi lokal yang di sebut inflamasiakut. Reaksi ini terus berlangsung selama masih terjadi proses pengrusakan jaringan oleh trauma. Bila penyebab kerusakan jaringan biasa di berantas, maka sisi jaringan yang rusak yang di sebut debris akan di fagositosis dan di buang oleh tubuh sampaiterjadi revolusi atau kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi fagosit kadang berlebihan berkumpul dalam suatu rongga membentuk abses atau bertumpuk di sel jaringan yang lain membentuk plegnon (peradangan yang luas dijaringan ikat )
Trauma yang hebat berlebihan dan terus menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan yang juga berlebihan berupa fagositosis febris yang di ikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini di sebut dengan fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan berhenti akan terjadi penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa , tetapi bila pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase imflamasi ???
Di kenal tiga radang yaitu : inflamasi akut, sub akut dan kronik . gambaran imflamasi akut menunjukan rubor( kemerahan ) dan logor ( demam setempat ) akibat vasodilatasi, dan tumor ( benjolan ) karena eksudasi. Ujung saraf akan terangsang oleh peradangan sehingga terdapat rasa nyeri ( dolor ). Nyeri dan pembengkakan akan menyebabkan gangguan faal. Kelima gejala ini di kenal dengan nama gejala cardinal dari celsus ( ALUS Cornelius Celsua, 53 SM- 50 AD , seorang cendikiawan Romawi )
Abses akibat radang akut berat yang terletak dekat permukaan di tandai dengan adanya fluktuasi, sedangkan flegmon yang sering di temukan di jaringan subkutis di tandai dengan pembengkakan difus yang merah dan sangat nyeri. Pada keduanya biasanya di dapati demam dan umumnya keadaan umum yang menurun. Abses dapat pecah oleh adanyan nekrosis jaringan dan kulit di atasnya
Fase imflamasi akut dapat di ikuti oleh radang kronik. Imflamasi akut atau kronis yang ada di permukaan atau mukosa dapat menyebabkan kerusakan epitel yang menyebabkan tukak atau ulkus. Kadang pusat infeksi atau radang berada jauh di bawah kulit sehingga nanah akan keluar melalui jaringan khusus yang terbentuk pada jaringan yang paling lemah. Jaringan khusus ini di sebut fistel atau sinus ( fistel/fistula : pipa atau sinus : ruang atau cekungan )
Tubuh akan breusaha membatasi infeksi ini dengan mengaktifkan jaringan limfoid sehingga terjadi radang akut kelenjer limfe ( limfadenitis regional )
Bila yang masuk virulensi tinggi, atau keadaan pertahanan tubuh sedang lemah, kuman dapat masuk ke pembuluh darah dan terbawa ke aliran darah terus berkembang biak, dan masuk keseluruh jaringan tubuh menyebabkan septisemia ( pembusukan darah )


IV. KOMPLIKASI
1 Komplikasi mayor adalah perforaisi apendiks yang dapat menorah ke peritonitis atau pembentukan abses
2 Perforasi biasanya terjadi setelah 24 jam setelah awitan nyeri ( gejala- gejalanya termasuk demam, penampilan toksik, dan nyeri berlanjut )
V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1 Jumlah leukosit lebih dari 10.000 / mm3
2 Jumlah netrofil lebih tinggi dari 75 %
3 Pemeriksaan sinar x dan ultrasonografi menunjukan densitas pada kuadran kanan bawah atau tingkat aliran udara setempat
4 Kekakuan pada seluruh dinding abdomen bisa mengindikasikan apendiks rupture dan terjadi peritonitis
VI. PENATALAKSANAAN MEDIS
1 Pembedahan di indikasikan jika terdiagnosa apendiksitis, lakukan apendiktomi secepat mungkin untuk mengurangi perforasi. Metode : insisi abdominal bawah di bawah anastesi umum atau spinal : laparoskopi
2 Berikan antibiotik dan cairan IV sampai pembedahan di lakukan
3 Analgesik data di berikan setelah diagnosa di tegakkan






KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN APENDIKSITIS


I. PENGKAJIAN
1 Aktivitas : malaise
2 Sirkulasi : tachicardia
3 Makanan/ cairan : anoreksia, mual dan muntah
4 Nyeri / kenyamanan
a) Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus yang meningkat berat dan terlokalisai pada titik Mc Burney, meninkat karena berjalan, bersin atau nafas dalam
b) Perilaku berhati- hati
c) Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan / posisi duduk tegak
5 Keamanan : demam ( biasanya rendah )
6 Pernafasan : takipneu, dan pernafasan dangkal
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Nyeri akut berhubungan dengan ditensi jaringan usus oleh inflamasi, adanya insisi bedah
2 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatannya pertahanan utama perforasi / ruptur pada apendiks peritonitis pembemtukan abses prosedur invasive, insisi bedah
3 Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah pasvca operasi, pembatasan pasca operasi, status hipermetabolic, inflamasi peritoneum dengan cairan asing
4 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubunga dengan kurang terpajan atau nmengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal informasi
III. PERENCANAAN DAN EVALUASI
1 Diagnosa 1
Tujuan / criteria evaluasi : nyeri hilang / terkontrol
Intervensi :
a) Kaji karakteristik nyeri dengan tehnik P, Q ,R, S, T
b) Oservasi vital sign
c) Observasi respon verbal dan non verbal terhadap nyeri
d) Ajarkan tehnik distraksi ( pengalihan ) dan relaksasi ( nafas dalam )
e) Pertahankan istirahat dalam posisi semi fowler
f) Anjurkan mobilisasi dini
g) Kolaborasi dalam pemberian analgetik


2 Diagnosa 2
Tujuan / kriteria evaluasi : meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi/ inflamasi, drainage purulen, eritema dan demam
Intervensi :
a) Kaji tanda- tanda infeksi seperti : kolor, dolor, tumor, dan rubor
b) Observasi peningkatan vital sign
c) Rawat luka dengan tehnik aseptic
d) Pantau hasil laboratorium, terutama kadar WBC darah
e) Kolaborasi pemberian antibiotic


3 Diagnosa 3
Tujuan /criteria evaluasi : mempertahankan keseimbangan cairan, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, tanda vital stabil, haluaran urine adekuat
Intervensi :
a) Ji intake output ( balance cairan ) dalam 24 jam
b) Observasi adanya kekurangan volume cairan ( membrane mukosa, turgor kulit, rekafilary refill )
c) Observasi vital sign terutama tekanan darah dan nadi
d) Beri minum reoral dan lanjukan dengan diet sesuai toleransi
e) Kolaborasi pemberian cairan IV dan elektrolit




4 Diagnosa 4
Tujuan/ criteria evaluasi : menyatakan pemahaman tentang proses penyakit, pengobatan dan potensial terhadap komplikasi
Intervensi :
a) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang perawatan , pengobatan dan prognosis penyakit
b) Diskusikan tentang perawatan, pengobatan, dan prognosis penyakit
c) Beri HE tentang perawatan, pengobatan dan prognosis penyakit
d) Beri rewadrd bila dapat menyebutkan kembali penjelasan perawat


Buku sumber :
Corwin, Elisabeth, J, 2000, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta
Doengoes , Marilym, E, dkk. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, egc, Jakarta
Reeves J. Charlene, rouk Gayle, Lockhart Robin, 2001, Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah, Salemba Medika, Jakarta
Suddarth, Brunner, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta

A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa ( Arif Mansjoer,2000 )
Fraktur adalah patah tulang , biasanya disebabkan oleh trauma ( Sylvia A. Price, 1995 ).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang ( Marilyn E. Doenges,1999)

Berdasarkan perluasannya Fraktur diklasifikasi menjadi dua yaitu :



1. Fraktur komplit
Terjadi bila seluruh tubuh tulang patah atau kontinuitas jaringan luas sehingga tulang terbagi dua bagian dan garis patahnya menyebrabg dari satu sisi ke sisi yang lain sehingga mengenai seluruh korteks.
2. Fraktur inkomplit
Diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patahan tidak menyebrang sehingga masih ada korteks yang utuh.

Berdasarkan bentuk garis patahan, fraktur dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Fraktur linier atau transversal
Fraktur yang garis patahannya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang, pada fraktur ini segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi kembali ketempat semula, maka segmen itu akan stabil dan biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips.
2. Fraktur oblik
Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut tulang, fraktur ini tidak stabil dan sulit diperbaiki.
3. Fraktur spiral
Fraktur yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan fraktur semacam ini cenderung cepat sembuh dengan imobilasasi luar.

4. Fraktur green stick
Fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak. Korteks tulang hanya sebagian yang masih utuh, demikian juga periosteum.
5. Fraktur kompresive
Fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya.

Berdasarkan hubungan fragmen tulang dan jaringan sekitar, dibedakan menjadi empat yaitu :
1. Fraktur tertutup
Fraktur yang fragmen tulangnya mempunyai hubungan dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka
Fraktur yang fragmen tulangnya pernah berhubungan dengan dunia luar, dimana kulit dari ekstremitas telah ditembus.
3. Fraktur komplikata
Fraktur yang disertai kerusakan jaringan saraf, pembuluh darah atau organ yang ikut terkena.
4. Fraktur patologis
Fraktur yang disebabkan oleh adanya penyakit lokal pada tulang sehingga kekerasan dapat menyebabkan fraktur terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah lemah oleh karena tumor atau proses patologik lainya.

B. PATOFISIOLOGI
1. Etiologi
a. Trauma langsung
Benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, patah tulang pada tempat benturan.
b. Trauma tidak langsung
Jatuh bertumpu pada lengan yang menyebabkan patah tulang klavikula, patah tulang tidak pada tempat benturan melainkan oleh karena kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang dan terjadi fraktur di tempat lain.
c. Etiologi lain
1) Trauma tenaga fisik ( Tabrakan, benturan )
2) Penyakit pada tulang ( proses penuaan, kanker tulang )
3) Degenerasi spontan
2. Tanda dan gejala
a. Deformitas, mungkin terdapat kelainan bentuk pada lokasi yang terkena.
b. Funsiolaesia
c. Nyeri tekan
d. Nyeri bila digeser
e. Krepitasi, dirasakan pada tulang fraktur yang disebabkan oleh pergeseran dua segmen ( suara gemetar )
f. Bengkak akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti.
g. Spasme otot
3. Skema patofisiologi
Trauma langsung dan tidak langsung

Tekanan eksternal yang lebih besar dari yang
dapat ditahan oleh tulang


Perubahan kontinuitas pembedahan situasi baru
Aliran darah jaringan tulang

Pasca op Pre op
Risiko terhadap
Kerusakan
Pertukaran gas cedera cemas
Jaringan lunak
Terpasang alat Kurang
Spasme otot fiksasi internal pengetahuan
sekunder
- kerusakan mobilitas fisik
Nyeri - defisit perawatan diri
- risiko kerusakan integritas kulit


Trauma langsung dan tak langsung akan menyebabkan terjadinya tekanan eksternal pada tulang yang tekanannya lebih besar dari yang dapat ditahan oleh tulang. Tulang dikatakan fraktur bila terdapat interuksi dari kontinuitas tulang dan biasanya disertai cedera jaringan disekitarnya yaitu ligamen, otot, tendon, pembuluh darah dan persarafan. Sewaktu tulang patah maka sel-sel tulang akan mati, perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut.
Reaksi peradangan hebat terjadi setelah timbul fraktur, sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mast dimulai. Ditempat patah terbentuk bekuan fibrin dan berfungsi sebagai alat untuk melekatnya sel-sel baru, matur yang disebut kalus. Bekuan fibrin direabsopsi untuk membentuk tulang sejati. Penyembuhan memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyembuhan dapat terganggu atau terlambat apabila hematoma fraktur tulang / kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk atau apabila sel-sel tulang baru rusak selama proses kalsifikasi dan pergeseran.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar X ( rontgen )
Dapat melihat gambaran fraktur, deformitas, lokasi dan Tipe.
2. Anteragram/menogram
Menggambarkan arus vaskularisasi.
3. CT SCAN, MRI, SCAN Tulang, Tomogram
Untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
4. Pemeriksaan Lab ( DL )
Untuk pasien fraktur yang perlu diketahui antara lain : HB, HCT (sering rendah karena perdarahan ), WBC ( kadang meningkat karena proses infeksi )
5. Creatinin
Trauma otot meningkatkan beban creatinin untuk klirens ginjal.


D. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Reposisi / setting Tulang
Berarti pengambilan Fragmen tulang terhadap kesejahteraannya.
a. Reposisi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya dengan memanipulasi dan traksi manual.
b. Reposisi terbuka dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direposisi.
2. Imobilisasi
Untuk mempertahankan reposisi sampai tahap penyembuhan.
a. Konservatif fiksasi eksterna
Alatnya : Gips, Bidai, Traksi
b. ORIF ( Open reduction Internal fictation )
Alatnya : Pen, flat screw.
3. Rehabilitasi
Pemulihan kembali / pengembalian fungsi dan kekuatan normal bagian yang terkena


Daftar Pustaka

Capernito,L.J.1999. Buku Saku Diagnoasa Keperawatan. Jakarta : EGC
Doenges,Marilyn.1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi Ketiga. Jakarta : EGC
Mansjoer,arief.2000. Kapita Selekta Kedokteran,Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius
Price,Sylvia .1995. Patofisiologis ,Konsep Klinis dan Proses – Proses Penyakit, Edisi 6.Jakarta : EGC



I. KONSEP DASAR TEORI
A. Pengertian
Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner & Suddart, 2002). Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronis pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membrane basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron (FKUI, 1998).



Jadi Diabetes Melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolic akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan miokroskop electron.

B. Etiologi
1. IDDM
a. Faktor genetik : individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor Immunologi : adanya suatu respon autoimun yang abnormal, dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara tereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing autoantibodi terhadap sel-sel Pulau Langerhans dan insulin endogen (internal). Terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe I.
c. Faktor Lingkungan : virus/toksin tertentu dapat memicu proses autoimun.



2. NIDDM
Faktor genetic
Faktor-faktor risiko tertentu : usia ( resistensi insulin meningkat pada usia lebih dari 40 tahun ), obesitas, riwayat keluarga kelompok etnik, diit.

C. Patofisiologi
Genetik Imunologik Lingkungan

Tipe antigen HLA Responn albumin Virus/toksik

Antibobi memicu proses autoimun

Sel beta pulau langerhans
Dan insulin endogen

Diabetes mellitus


Hilangnya nafsu makan kesemutan pada ekstermitas bisa mengulur diit
Muntah sering haus
Perubahan nutrisi
Banyak minum
Penurunan BB drastic
Sering kencing
Lemah, letih, lesu kelelahan


Mata kabur cedera
Ggn penglihatan
Perlukaan





Px bertanya tentang penyakitnya
Px tampak gelisah
Px selalu ingin didampingi o/ orang terdekat





II. KONSEP DASAR ASKEP
A. Pengkajian
Data subjektif : pasien mengeluh lemah, letih, lesu, sering haus, banyak minum, sering kencing, penurunan BB drastic, kesemutan pada ekstermitas, mata kabur/ gangguan penglihatan, kulit kering, hilang nafsu makan, tidak bisa mengulur diit.
Data objektif : demam, disorientasi, mengantuk, letargi, stupor, koma,muntah, gelisah,luka yang sulit sembuh.

B. Diagnosa keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d defisiensi insulin (penurunan ambilan dan penggunaan glukosa oleh njaringan).
2. Kekurangan volume cairan b/d diuresis osmotic
3. Risiko terhadap perubahan suhu tubuh b/d efektifnya termoregulasi sekunder akibat infeksi.
4. Risiko tinggi infeksi (sepsis) b/d kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit.
5. Kelelahan b/d penurunan produksi energi metabolic.
6. Risiko tinggi terhadap perubahan sensori perceptual b/d gangguan penglihatan.
7. Ansietas b/d pengobatan atau kurang informasi.
8. Penatalaksanaan terapeutik tak efektif b/d kurang pemgetahuan.
9. Kerusakan integritas kulit b/d luka/ ulkus diabetic.
10. Nyeri b/d kerusakan integritas kulit.

C. Perencanaan
1. Diagnosa 1
Intervensi :
a. Timbang BB tiap hari.
Rasional : mengkaji masukan nutrisi yang adekuat.
b. Tentukan program diit dan pola makan pasien.
Rasional : mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan kebutuhan terapeutik.
c. Observasi tanda-tanda hipoglikemia ( perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/ dingin, nadi cepat, sakit kepala).
Rasional : metabolisme karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan berkurang, semantara tetap diberikan insulin maka hipoglikemia terjadi.
d. Kolaborasi dala pemberian insulin secara teratur.
Rasional : Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memudahkan glukosa kedalam sel.
2. Diagnosa 2
Intervensi:
a. Pantau tanda vital.
Rasional : hipoolume dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardi.
b. Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urine.
Rasional : mempertahankan hidrasi/ volume sirkulasi
c. Pertahankan untuk memberikan cairan 250 cc/hari dalam batas yang dapat ditoleransi oleh jantung.
Rasional : mempertahankan hidrasi/ volume sirkulasi
d. Beri terapi cairan sesuai dengan indikasi.
Rasional : Tipe dan jumlah cairan tergantung kepada derajat kekurangan cairan dan respon pasien secara individual.
3. Diagnosa 3
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda vital
Rasional : Indikasi terjadinya infeksi
b. Observasi keadaan kuilit dan sirkulasi
Rasional : Keadaan kulit yang kering dan adanya lesi menimbulkan perubahan suhu tubuh
c. Kaji tandas-tanda dehidrasi
Rasional : konserpatif dalam memberikan tindakan
d. Observasi masalah yang dapat memberatkan hipotermia/hipertermia.
Rasionalmencegah kondisi yang semakin buruk.
4. Diagnosa 4
Intervensi :
a. Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktifitas
Rasional : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatan aktifitas
b. Bentuk aktifitas alternative dengan periode istirahat yang cukup
Rasional : mencegah kelelahan yang berlebih
c. Pantau nadi, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah sebelum dan sesudah melakukan aktifitas
Rasional : Mengidentifikasi tingkat aktifitas yang dapat ditolerandsi
d. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktifitas
Rasional : meningkatkan kepercayaan diri/ harga diri pasien.
5. Diagnosa 5
Intervensi :
a. Gunakan teknik steril sewaktu penggantian balutan
Rasional : mencegah masuknya bakteri, mengurangi risiko infeksi nosokomial
b. Gunakan sarung tangan waktu merawat luka
Rasional : mencegah pencegahan infeksi
c. Pantau kecendrungan suhu
Rasional : Hipotermi adalah tanda-tanda penting yang merefleksikan perkembangan status shock/ penurunan perfusi jaringan
d. Berikan obat anti infeksi sesuai dengan petunjuk
Rasional : Dapat membasmi/ memberikan imunitas sementara untuk infeksi umum/ penyakit khusus.
6. Diagnosa 6
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital dan status mental
Rasional : sebagai dasar dalam membandingkan temuan abnormal
b. Lindungi pasien dari cedera
Rasional : Pasien mengalami disorientasi merupakan awal terjadinya cedera
c. Selidiki adanya keluhan parasetia, nyeri/ kehilangan sensori pada kaki/ paha
Rasional : Neuropati perifer dapat mengakibatka rasa tidak nyaman yang berat
d. Berikan pengobatan sesuai dengan obat yang ditentukan
Rasional : Gangguan terhadap aktifitas, kejang biasanya hilang bila keadaan hiperosmolalitas teratasi.
7. Diagnosa 7
Intervensi :
a. Evaluasi tingkat ansietas
Rasional : ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat
b. Berikan informasi tentang proses penyakit dan antisipsi tindakan
Rasional : mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas
c. Kurangi stimulasi dari luar
Rasional : menciptakan terapi yang terapeutik
d. Berikan obat anti ansietas
Rasional : menurunkan pengaruh dan sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
8. Diagnosa 8
Intervensi :
a. Ciptakan lingkungan saling percaya
Rasional : mananggapi dan memperhatika perlu diciptakan sebelum bersedia mengambil bagian dalam proses belajar
b. Diskusikan topik-topik utama yang berhubungan dengan penyakitnya
Rasional : memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya hidup
c. Hindari kesan menekan
Rasional : partisipasi dalam perencanaan
d. Usahakan untuk menemukan kecocokan
Rasional : pemahaman tentang aspek yang digunakan.
9. Diagnosa 9
Intervensi :
a. Pantau kulit untuk luka terbuka
Rasional : memberikan informasi tentang sirkulasi kulit
b. Ganti balutan sesering mungkin
Rasional : mempertahankan kulit sekitar luka tetap bersih
c. Kolaborasi dalam irigasi luka, bantu dalam melakukan debridement sesuai kebutuhan
Rasional : membuang jaringan nekrotik pada luka
d. Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : untuk mengobati infeksi khusus dan meningkatkan penyembuhan.
10. Diagnosa 10
Intervensi :
a. Pantau lokasi nyeri
Rasional : ketahui lokasi nyeri secara pasti
b. Dorong menggunakan teknik management stress seperti nafas dalam.
Rasional : membantu pasien untuk relaksasi
c. Ubah posisi secara periodic dan berikan latihan gerak
Rasional : dapat memperbaiki sirkulasi jaringan
d. Berikan obat sesuai indikasi (analgetik)
Rasional : menurunkan nyeri/ spasme otot.

D. Pelaksanaan
Sesuai intervensi

E. Evaluasi
1. Nuitrisi pasien adekuat
2. kebutuhan cairan pasien adekuat
3. Tidak terjadi hipotermi/hipertermi
4. Tidak terjadi infeksi
5. Pasien lebih bertenaga
6. Tidak terjadi perubahan persepsi sensoris
7. Tidak cemas
8. Pasien dapat melaksanaakan terapeutik sexara efektif
9. Integritas kulit baik
10. Nyeri berkurang/terkontrol
Daftar Pustaka :
Smeltzer Swan (2001) Buku Ajar Medikal Bedah Jakarta ; EGC
Carpenito,Lynda Juall (2000) Diagnosa Kperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Jakarta : EGC
Doengos, Marylin E (1999) Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC


I. DEFINISI
Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.



II. ETIOLOGI
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan erat dengan infeksi saluran nafas bagian atas oleh Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A berbeda dengan glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit maupun disaluran nafas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit.
Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan lingkungan.


Faktor-faktor pada individu :
1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
5. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever
Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

III. PATOGENESIS
Demam reumatik adalah penyakit radang yang timbul setelah infeksi streptococcus golongan beta hemolitik A. Penyakit ini menyebabkan lesi patologik jantung, pembuluh darah, sendi dan jaringan sub kutan. Gejala demam reumatik bermanifestasi kira-kira 1 – 5 minggu setelah terkena infeksi. Gejala awal, seperti juga beratnya penyakit sangat bervariasi. Gejala awal yang paling sering dijumpai (75 %) adalah arthritis. Bentuk poliarthritis yang bermigrasi. Gejala dapat digolongkan sebagai kardiak dan non kardiak dan dapat berkembang secara bertahap.
Demam reumatik dapat menyerang semua bagian jantung. Meskipun pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam remautik termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, difosforidin nukleotidase, dioksiribonuklease serta streptococcal erytrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
Pada penderita yang sembuh dari infeksi streptococcus, terdapat kira-kira 20 sistem antigen-antibodi; beberapa diantaranya menetap lebih lama daripada yang lain. Anti DNA-ase misalnya dapat menetap beberapa bulan dan berguna untuk penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala korea sebagai manifestasi tunggal demam reumatik, saat kadar antibodi lainnya sudah normal kembali.
ASTO ( anti-streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik / penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikkan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap streptococcus, maka pada 95 % kasus demam reumatik / penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap streptococcus.
Patologi anatomis
Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan proliferasi jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung; organ lain seperti sendi, kulit, paru, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena tetapi selalu reversibel. Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones yang dimodifikasi dari American Heart Association. Dua kriteria mayor dan satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik. Prognosis tergantung pada beratnya keterlibatan jantung.

IV. MANIFESTASI KLINIK
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium.
Stadium I
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A.
Keluhan :
 Demam
 Batuk
 Rasa sakit waktu menelan
 Muntah
 Diare
 Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini berlangsung 1 - 3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
Stadium III
Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Gejala peradangan umum :
 Demam yang tinggi
 lesu
 Anoreksia
 Lekas tersinggung
 Berat badan menurun
 Kelihatan pucat
 Epistaksis
 Athralgia
 Rasa sakit disekitar sendi
 Sakit perut

Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
 Pemeriksaan laboratorium darah
 Foto rontgen menunjukkan pembesaran jantung
 Elektrokardiogram menunjukkan aritmia E
 Echokardiogram menunjukkan pembesaran jantung dan lesi

V. DIAGNOSIS PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosa demam reumatik dapat digunakan Kriteria Jones yaitu :
Kriteria mayor :
 Poliarthritis
Pasien dengan keluhan sakit pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi-sendi besar; lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan , siku (poliarthritis migrans).
 Karditis
Peradangan pada jantung (miokarditis, endokarditis).
 Eritema marginatum
Tanda kemerahan pada batang tubuh dan telapak tangan yang tidak gatal.
 Noduli subkutan
Terletak pada ekstensor sendi terutama siku, ruas jari, lutut, persendian kaki; tidak nyeri dan dapat bebas digerakkan.
 Korea sydenham
Gerakkan yang tidak disengaja /gerakkan yang abnormal, sebagai manifestasi peradangan pada sistem syaraf pusat.

Kriteria Minor :
 Mempunyai riwayat menderita demam reumatik /penyakit jantung reumatik
 Athralgia atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi; pasien kadang-kadang sulit menggerakkan tungkainya
 Demam tidak lebih dari 39 derajad celcius
 Leukositosis
 Peningkatan Laju Endap Darah (LED)
 C-Reaktif Protein (CRF) positif
 P-R interval memanjang
 Peningkatan pulse denyut jantung saat tidur (sleeping pulse)
 Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)
Diagnosa ditegakkan bila ada dua kriteria mayor dan satu kriteria minor, atau dua kriteria minor dan satu kriteria mayor.
Bukti-bukti infeksi streptococcus :
 Kultur positif
 Ruam skarlatina
 Peningkatan antibodi streptococcus yang meningkat

VI. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan penatalaksanaan medis adalah :
 Memberantas infeksi streptococcus
 Mencegah komplikasi karditis
 Mengurangi rasa sakit; demam
Pemberantasan infeksi streptococcus :
Pemberian penisilin benzatin intramuskuler dengan dosis :
 Berat badan lebih dari 30 kg  1,2 juta unit
 Berat badan kurang dari 30 kg  600.000 - 900.000 unit
 Untuk pasien yang alergi terhadap penisilin diberikan eritromisin dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis pemberian selama kurang lebih 10 hari.
Pencegahan komplikasi karditis :
 Pemberian penisilin benzatin setiap satu kali sebulan untuk pencegahan sekunder menurut The American Asosiation
 Tirah baring bertujuan untuk mengurangi komplikasi karditis dan mengurangi beban kerja jantung pada saat serangan akut demam reumatik
 Bila pasien ada tanda-tanda gagal jantung maka diberikan terapi digitalis 0,04 – 0,06 mg/kg BB.
Mengurangi rasa sakit dan anti radang :
 Pasien diberi analgetik untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Salisilat diberikan untuk anti radang dengan dosis 100 mg/kg BB/hari selama kurang lebih dan 25 mg/kg BB/hari selama satu bulan.
 Prednison diberikan selama kurang lebih dua minggu dan tapering off (dikurangi bertahap) Dosis awal prednison 2 mg/kg BB/hari.
Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones yang dimodifikasi dari American Heart Association. Dua kriteria mayor dan satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik. Prognosis tergantung pada beratnya keterlibatan jantung.













ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK


A. PENGKAJIAN
Tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data tentang :
 Fungsi jantung
 Toleransi terhadap aktivitas dan sikap klien terhadap pembatasan aktivitas
 Status nutrisi
 Tingkat ketidaknyamanan
 Gangguan tidur
 Kemampuan klien mengatasi masalah
 Hal-hal yang dapat membantu klien
 Pengetahuan orang tua dan pasien (sesuai usia pasien) tentang pemahaman pasien
Pengkajian
 Riwayat penyakit
 Monitor komplikasi jantung
 Auskultasi jantung; bunyi jantung melemah dengan irama derap diastole
 Tanda-tanda vital
 Kaji adanya nyeri
 Kaji adanya peradangan sendi
 Kaji adanya lesi pada kulit

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan stenosis katub
Tujuan : COP meningkat
Kriteria :
- Klien menunjukan penurunan dyspnea
- Ikut berpartisipasi dalam aktivitas serta mendemonstrasikan peningkatan toleransi

Intervensi :
a. Pantau tekanan darah, nadi apikal dan nadi perifer
b. Pantau irama dan frekuensi jantung
c. Tirah baring posisi semifowler 450
d. dorong klien melakukan tehnik managemen stress ( lingkungan tenang, meditasi )
e. bantu aktivitas klien sesuai indikasi bila klien mampu
f. kolaborasi O2 serta terapi

2. Intoleransi aktivitas b.d penurunan cardiac output, ketidakseimbangan suplai O2 dan kebutuhan
Tujuan : Klien dapat bertoleransi secara optimal terhadap aktivitas
Kriteria :
- Respon verbal kelelahan berkurang
- Melakukan aktivitas sesuai batas kemampuannya ( denyut nadi aktivitas tidak boleh lebih dari 90X/menit, tidak nyeri dada )
Intervensi :
a. Hemat energi klien selama masa akut
b. Pertahankan tirah baring sampai hasil laborat dan status klinis membaik
c. Sejalan dengan semakin baiknya keadaan, pantau peningkatan bertahap pada tingkat aktivitas
d. Buat jadwal aktivitas dan istirahat
e. Ajarkan untuk berpartisipasi dalam aktivitas kebutuhan sehai-hari
f. Ajarkan pada anak /orang tua bahwa pergerakkan yang tidak disadari adalah dihubungkan dengan korea dan temporer.
g. Bila terjadi chorea, lindungi dari kecelakaan, bedrest dan berikan sedasi sesuai program

3. Nyeri b.d respon inflamasi pada sendi (poliarthritis).
Tujuan : tidak terjadi rasa nyeri pada klien
Kriteria :
- Nyeri klien berkurang
- Klien tampak rileks
- Ekspresi wajah tidak tegang
- Klien dapat merasakan nyaman, tidur dengan tenang dan tidak merasa sakit
Intervensi :
a. Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala
b. Berikan tindakan kenyamanan ( perubahan posisi sering lingkungan tenang, pijatan pungung dan tehnik manajemen stress)
c. Minimalkan pergerakkan untuk mengurangi rasa sakit
d. Berikan terapi hangat dan dingin pada sendi yang sakit
e. Lakukan distraksi misalnya : tehnik relaksasi dan hayalan
f. Pemberian analgetik, anti peradangan dan antipiretik sesuai program.
g. Rujuk ke terapi fisik sesuai persetujun medik

4. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah, rasa sakit waktu menelan dan peradangan pada tonsil disertai eksudat.
Tujuan : tidak terjadi penurunan nutrisi pada klien
Kriteria :
- Nafsu makan klien bertambah
- Klien tidak merasa mual, muntah
- Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi :
a. Beri makan sedikit tapi sering (termasuk cairan)
b. Masukkan makanan kesukaan anak dalam diet
c. Anjurkan untuk makan sendiri, bila mungkin (kelemahan otot dapat membuat keterbatasan)
d. Memilih makanan dari daftar menu
e. Atur makanan secara menarik diatas nampan
f. Atur jadwal pemberian makanan
g. Berikan makanan yang bergizi tinggi dan berkualitas.

5. kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya filtrasi glomerulus, retensi natrium dan air, meningkatnya tekanan hidrostatik
Tujuan : volume cairan seimbang
Kriteria :
- Volume cairan stabil, dengan keseimbangan masukan dan pengeluarn
- Tidak terdapat odema
Intervensi :
- Pantau haluaran urine, catat jumlah dan warna
- Pantau keseimbanagn masukan dan pengeluaran selama 24 jam
- Berikan makanan yang mudah dicerna porsi kecil, sering
- Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi
- Kolaborasi pemberian diuretik

6. Pola pernafasan tak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria Hasil :
- Frekuensi nafas dan kedalaman dalam rentang normal
Intervensi :
- Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada, catat pernafasan/upaya pernafasan
- Auskultasi bunyi nafas dan catat bunyi nafas
- Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
- Kolaborasi terapi O2
-
7. Kurangnya pengetahuan orang tua / anak b.d pengobatan, pembatasan aktivitas, resiko komplikasi jantung.
Tujuan : pengetahuan orang tua /anak bertambah
Kriteria :
- Orang tua mengetahui tentang proses penyakit dan efek dari penyakit
- Orang tua mau berpartisipasi dalam program pengobatan
- Orang tua mengetahui pentingnya pembatasan aktifitas pada anak
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung untuk mengetahui adanya perubahan irama
b. Pemberian antibiotik sesuai program
c. Pembatasan aktivitas sampai manifestasi klinis demam reumatik tidak ada dan berikan periode istirahat
d. Berikan terapi bermain yang sesuai dan tidak membuat lelah.

8. Perubahan proses keluarga b.d kondisi penyakit anak.
Tujuan :
- Mempersiapkan keluarga untuk dapat merawat anak dengan penyakit demam reumatik / jantung reumatik
- Keluarga dapat beradaptasi dengan penyakitnya
Kriteria :
Keluarga dapat mengatasi masalah yang timbul dari adanya tanda dan gejala yang muncul dan memberikan atau menyediakan lingkungan yang sesuai dengan anak.
Intervensi :
a. Berikan dukungan emosional pada keluarga dan anak
b. Anjurkan orang tua untuk mengekspresikan perasaannya
c. Anjurkan anak untuk berbagi rasa tidak berdaya, malu, ketakutan yang berkaitan dengan manifestasi penyakit (misal: korea, karditis dan kelemahan otot)
d. Bertindak sebagai pembela dan penghubung anak dan keluarga dengan anggota tim perawatan kesehatan lainnya
e. Anjurkan anak untuk berhubungan dengan teman sebaya
f. Dorong keterlibatan anak dalam aktivitas rekreasi dan aktivitas pengalih yang sesuai dengan usia.



PNEUMONIA


PENGERTIAN
Pneumonia adalah penyakit inflamasi pada paru yang dicirikan dengan adanya konsolidasi akibat eksudat yang masuk dalam area alveoli. (Axton & Fugate, 1993)




PENYEBAB


- Virus Influensa
- Virus Synsitical respiratorik
- Adenovirus
- Rhinovirus
- Rubeola
- Varisella
- Micoplasma (pada anak yang relatif besar)
- Pneumococcus
- Streptococcus
- Staphilococcus




TANDA DAN GEJALA


 Sesak Nafas
 Batuk nonproduktif
 Ingus (nasal discharge)
 Suara napas lemah
 Retraksi intercosta
 Penggunaan otot bantu nafas
 Demam
 Ronchii
 Cyanosis
 Leukositosis
 Thorax photo menunjukkan infiltrasi melebar




Jenis
Pneumonia lobular
Bronchopneumonia


PATOFISIOLOGI


Kuman mati Virulensi tinggi


Destruksi jaringan


Shunt darah arteriole alveoli
PENGKAJIAN
Identitas :
Umur : Anak-anak cenderung mengalami infeksi virus dibanding dewasa
Mycoplasma terjadi pada anak yang relatif besar
Tempat tinggal: Lingkungan dengan sanitasi buruk beresiko lebih besar


Riwayat Masuk
Anak biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi. Kesadaran kadang sudah menurun apabila anak masuk dengan disertai riwayat kejang demam (seizure).


Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit saluran pernafasan lain seperti ISPA, influenza sering terjadi dalam rentang waktu 3-14 hari sebelum diketahui adanya penyakit Pneumonia.
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan dapat memperberat klinis penderita


Pengkajian
1. Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan


2. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,


3. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun


4. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi


5. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan


6. Sistem genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal,


7. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare



Studi Laboratorik :
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon darah meningkat/normal
Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal


RENCANA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Infeksi Paru
Karakteristik : batuk (baik produktif maupun non produktif) haluaran nasal, sesak nafas, Tachipnea, suara nafas terbatas, retraksi, demam, diaporesis, ronchii, cyanosis, leukositosis
Tujuan :
Anak akan mengalami pola nafas efektif yang ditandai dengan :
Suara nafas paru bersih dan sama pada kedua sisi
Suhu tubuh dalam batas 36,5 – 37,2OC
Laju nafas dalam rentang normal
Tidak terdapat batuk, cyanosisi, haluaran hidung, retraksi dan diaporesis


Tindakan keperawatan
Lakukan pengkajian tiap 4 jam terhadap RR, S, dan tanda-tanda keefektifan jalan napas
R : Evaluasi dan reassessment terhadap tindakan yang akan/telah diberikan
Lakukan Phisioterapi dada secara terjadwal
R : Mengeluarkan sekresi jalan nafas, mencegah obstruksi
Berikan Oksigen lembab, kaji keefektifan terapi
R : Meningkatkan suplai oksigen jaringan paru
Berikan antibiotik dan antipiretik sesuai order, kaji keefektifan dan efek samping (ruam, diare)
R : Pemberantasan kuman sebagai faktor causa gangguan
Lakukan pengecekan hitung SDM dan photo thoraks
R : Evaluasi terhadap keefektifan sirkulasi oksigen, evaluasi kondisi jaringan paru
Lakukan suction secara bertahap
R : Membantu pembersihan jalan nafas
Catat hasil pulse oximeter bila terpasang, tiap 2 – 4 jam
R : Evaluasi berkala keberhasilan terapi/tindakan tim kesehatan


2. Defisit Volume Cairan b.d :
- Distress pernafasan
- Penurunan intake cairan
- Peningkatan IWL akibat pernafasan cepat dan demam


Karakteristik :
Hilangnya nafsu makan/minum, letargi, demam., muntah, diare, membrana mukosa kering, turgor kulit buruk, penurunan output urine.


Tujuan : Anak mendapatkan sejumlah cairan yang adekuat ditandai dengan :
Intake adekuat, baik IV maupun oral
Tidak adanya letargi, muntah, diare
Suhu tubuh dalam batas normal
Urine output adekuat, BJ Urine 1.008 – 1,020


Intervensi Keperawatan :
Catat intake dan output, berat diapers untuk output
R : Evaluasi ketat kebutuhan intake dan output
Kaji dan catat suhu setiap 4 jam, tanda devisit cairan dan kondisi IV line
R : Meyakinkan terpenuhinya kebutuhan cairan
Catat BJ Urine tiap 4 jam atau bila perlu
R : Evaluasi obyektif sederhana devisit volume cairan
Lakukan Perawatan mulut tiap 4 jam
R : Meningkatkan bersihan sal cerna, meningkatkan nafsu makan/minum


Diagnosa lain :


1. Perubahan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan b.d anoreksia, muntah, peningkatan konsumsi kalori sekunder terhadap infeksi
2. Perubahan rasa nyaman b.d sakit kepala, nyeri dada
3. Intoleransi aktivitas b.d distres pernafasan, latergi, penurunan intake, demam
4. Kecemasan b.d hospitalisasi, distress pernafasan






Referensi :
Acton, Sharon Enis & Fugate, Terry (1993) Pediatric Care Plans, AddisonWesley Co. Philadelphia

I. KAJIAN TEORI
A. PENGERTIAN
Gangguan kognitif spesifik yang perlu mendapat perhatian adalah dimensia dan delirium. Dimensia adalah gangguan kognitif yang ditandai dengan hilangnya fungsi intelektual yang berat (Anna Keliat, 1994 : 6).
Delirium adalah fungsi kognitif yang kacau ditandai dengan kesadaran, berkabut yang dimanifestasikan dengan lama, konsentrasi yang rendah (Anna Kaliat, 1994: 5).



B. FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESIPITASI
1. Faktor Predisposisi
Rentang respon kognitif


Tegas
Ingatan utuh
Orientasi lengkap
Persepsi aktual
Perhatian terfokus
Koheren pikiran logis Ketidaktegasan periodik
Mudah lupa
Kebingungan transien ringan
Kadang mispersepsi
Kadang berpikir tak jernih
Ketidakmampuan membuat keputusan,
kerusakan ingatan dan penilaian, disorientasi, mispersepsi, terus ketidakmampuan untuk ber berfokus pada perhatian kesulitan dengan alasan logis.

Gangguan respon kognitif pada umumnya sebagai akibat dari gangguan biologik pada fungsi sistem saraf pusat. Faktor yang mempengaruhi individu mengalami gangguan kognitif termasuk :
a. Gangguan suplai O2, glukosa dan zat gizi dasar penting lainnya ke otak.
 Perubahan vaskular artoriosklereas
 Serangan iskemik sementara
 Hemorogi serebral
 Infark otak kecil multiple
b. Degenerasi berhubungan dengan penuaan
c. Pengumpulan zat beracun dalam jaringan otak
d. Penyakit HIV
e. Penyakit batu kronik
f. Penyakit ginjal kronik
g. Defisiensi vitamin (terutama tiamin)
h. Malnutrisi
i. Cacat genetik
j. Kelainan psikotik mayor seperti : skizofrenia, dan bipolar
2. Faktor Presipitasi
Setiap gangguan di otak dapat berakibat gangguan kognitif, seperti :
1. Hipoksia.
2. Gangguan metabolik, termasuk hipotirodisme, hipertiriodisme, hipoglikenik, popuvitarisme, dan penyakit adrenal.
3. Takss dan agen infeksi.
4. Respon yang berlawanan terhadap pengobatan.
5. Perubahan struktur otak, seperti lumer atau trauma.
6. Kekurangan atau kelebihan sensori.
3. Sumber Koping
Respon individu termasuk kekuatan dan ketrampilan. Pemberi pelayanan bersifat mendukung dan juga sebagai sumber informasi tentang karakterisitik, kepribadian, kebiasaan dan rutinitas kelompok swalayan (self-help group) dapat merupakan sumber koping bagi pemberi pelayanan.
4. Mekanisme Koping
Cara individu menghadapi secara emosional respon kognitif yang maladaptif sangat dipengaruhi oleh perjalanan masa lalunya.
Gangguan prilaku yang mendasar pada delirium adalah perubahan kesadaran yang mencerminkan gangguan bioligik yang berat pada otak, mekanisme koping patologik pada umumnya tidak digunakan. Pegawai harus melindungi pasien dari bahaya dengan menggantikan mekanisme koping individu secara konstan mengorientasi pasien dan mendorongnya menghadapi realitas. Prilaku yang menunjukkan upaya seseorang dengan dimensia untuk mengadakan. Kehilangan kemampuan kognitif dapat termasuk kecurigaan, bermusuhan, bercanda, depresi, seduktif dan menarik diri.
Mekanisme pertahanan ego yang mungkin teramati pada pasien dengan gangguan kognitif meliputi :
a. Regresi
b. Denial
c. Kompensasi


C. RENTANG RESPON KOGNITIF
Model Kognisi :
1. Model Pembelajaran
Teori pembelajaran psikologis ini menyatakan bahwa jika individu mengalami perubahan pada beberapa respon positif. Respon yang paling mungkin ada respon yang pernah digunakan pada masa lalu.
2. Model Kognitif Sosial
Teori pembelajaran psikologi ini menyatakan suatu stimulus dialami sebagai tanda menimbulkan runtutan, mengantarkan seseorang untuk mencari kepuasan. Respon dituntut : mengarahkan seseorang untuk mencari kepuasan. Respon dituntut dan persepsi individu terhadap lingkungan.
3. Model Perkembangan Piaget
Tahap Usia Karakteristik
Sensorimotor Lahir-2 th


- Berorientasi pada lingkungan
- Tidak berbahasa
- Mengembangkan kesadaran tentang dalam ruang.
- Mengembangkan daya ingat tentang benda yang hilang
Persiapan dan organi-sasi operasi konkrit dari tahap preorasional 2 – 5 th - Dampak simbolisme
- Benda didefinisikan sesuai fungsinya
- Pemikiran magis


Operasi konkrit 5 – 12 th - kemampuan bercerita
- Membuat dan mentaati peraturan
- Pengumpulan pengalaman

Operasi formal
12 – 14 th
4 bulan - tua
- Abstrak
- Pengembangan hal ideal
- Krisis terhadap orang lain
- Kritis terhadap diri sendiri

D. TANDA DAN GEJALA
Tanda-tanda delirium Tanda-tanda dimensia
- Kesadaran menurun
- Disorientasi
- Bingung
- Cemas
- Gelisah
- Panik
- Bicara komat-kamit
- Inkoheren
- Gangguan tidur - Daya ingat menurun/hilang
- Apek labil
- Gelisah
- Agitasi
- Prilaku sosial yang tidak sesuai
- Psikorientasi
Perbandingan delirium, dimensia dan depresi
Depresi Delirium Dimensia
Awitan perjalanan gangguan
Cepat (minggu/ bulan) mungkin ada pembatasan diri atau menjadi kronik tanpa penanganan Cepat (jam/ hari) Fluktuasi luas dapat berlangsung terus untuk beberapa minggu jika penyebab tidak diketahui Bertahap (tahunan) Kronik, lambat namun penurunan berkesinambungan
Tingkat kesadaran Normal Berfluktuasi diri sangat waspada hingga sulit untuk dibangunkan Normal
Orientasi Pasien mungkin tampak disorientasi Pasien disorientasi
Bingung Pasien disorientasi
Bingung
Afek Sedih, depresi, cemas, rasa ber-salah Fluktuasi
Labil, apatis pada tahap lanjut
Perhatian Kesulitan konsen-trasi, pasien mung-kin menelaah dan menelaah kembali semua tindakannya Selalu terganggu Mungkin utuh, pasien dapat memu-satkan perhatian pada satu hal untuk waktu yang lama
Tidur Terganggu : tidur berlebihan atau insomnia terutama ketika bangun pagi Selalu terganggu Biasanya normal
Prilaku Pasien mungkin merasa sangat lelah, apatetik, mungkin agitasi Agitasi gelisah Pasien mungkin agitasi atau spatetik, mungkin bengong
Pembicaraan Pelan, jarang, mungkin meledak-ledak, dapat dimengerti Jarang atau cepat, pasien mungkin inkoheren Jarang atau cepat, berulang, pasien mungkin inkoheren
Ingatan Bervariasi dari hari ke hari, lamban dalam mengingat, sering defisit ingatan jangka panjang dan pendek Terganggu, terutama untuk peristiwa yang baru terjadi Kerusakan, terutama untuk kejadian terbaru
Kognisi Mungkin tampak terganggu Gangguan mengemukakan alasan Gangguan dalam mengemukakan alasan dan menghitung
Isi pikir Negatif hipokondrik, pikiran dipenuhi oleh kematian, paranoid Imkoheren, bingung, waham steriotipik Tidak teratur, isi pikir kaya, berwaham paranoid
Depresi Terganggu, pasien mungkin mengalami halusinasi pendengaran, penafsiran negatif terhadap kejadian dan orang lain Salah penafsiran, ilusi, halusinasi Tidak berubah
Pengambilan keputusan Buruk Buruk Buruk; Prilaku sosial tidak sesuai
Penghayatan Mungkin terganggu Mungkin tampak jelas sesaat Tidak ada
Penampilan pada saat pemeriksaan starus jiwa Mungkin terganggu,daya ingat terganggu, berhitung, menggambar, mengikuti perintah biasanya tidak terganggu, sering manjawab “saya tidak tahu” Mungkin tampak jelas saat bunuh diri tapi bervariasi; meningkat selama tamapak jelas sesaat dan dengan penyembuhan Secara konsisten buruk, mungkin memburuk dengan cepat : pasien berupaya menjawab semua pertanyaan






E. Implementasi
1. Delirium
Intervensi pra keperawatan pasien dengan deliriummeliputi:
a. Kewaspadaan perawat
Pengekangan pada pasien deliriu, untuk mempertahankan aliran intrvena tetap dalam keadaan baik,dapat meningkatkan agitasi. Gunakan pengekangan jika hanya sangat diperlukan dan jangan meninggalkan pasien delirium yang sedang dikekang seorang diri.
b. Memenuhi kebutuhan fisiologik
Pertahankan keseimbangan nutrisi cairan dan elektolit, lakukan tindakan perawatan seperti menggosok punggung, memberikan susu hangat dan percakapan yang menyenangkan pasien sehingga dapat tidur, obat sedatif mungkin merupkan kontraindikasi samapai diketahui penyebab delirium.
c. Lakukan inetrvensi pada gangguan seperti persepsi halusinasi :
 Biarkan lampu menyala di ruangan untuk mengurangi bayangan
 Pastikn keamanan dengan, menempatkan pasien dalan ruangan dengan tirai pengaman dan memindahkan perabotyang berlebihan
 Berikan Askep satu perawat satu pasienjika diperlukan untuk mempertahankan orientasi pasien
 Orintasukan kembali terhadap waktu, tempat dan orang
d. Komunikasi
 Berikan pesan yang jelas
 Hindari memberikan pilihan
 Gunakan pernyataan langsung yang sederhana
e. Penyuluhan pasien
 Berikan informasi mengenai penyebab delirium
 Ajarkan pasien dan keluarga tentang pengobatan yang diresepkan
 Informasikan tentang pencegahan episode dimasa yang akan datang
 Rujuk pada agensi keperawatan komunitas jika dibutuhkan penyuluhan atau intervensi lebih lanjut




2. Dimensia
Intervensi keperawtan pada pasien dengan dimensia meliputi :
a. Orientasi
 Beri tanda yang jelas pada kamar pasien dengan menggunakan namanya
 Anjurkan pasien untuk menyimpan barang milik pribadi pasien di kamarnya
 Gunakan lampu tidur
 Sediakan jam dan kalender
 Orientasi secara verbal dengan interval yang sering
b. Komunikasi
 Perkenalkan diri anda
 Tunjukkan sikap positif tanpa pamrih terhadap pasien
 Gunakan komunikasi verbal yang jelas dan singkat
 Atur suara
 Hindari penggunaan kata ganti
 Gunakan pertanyaan yang sederhana
 Minta satu dalam satu kesempatan
 Pastikan bahwa komunikasi verbal sejalan/ selaras dengan komunikasi nonverbal
 Pelajari kehidupan masa lalu pasien
 Berikan perasaan bebas di tempat tinggalnya
c. Dukung mekanisme koping
d. Kurangi kebengongan pasien dengan mengidentifikasi kondisi terjadinya prilaku melakukan tindakan pencegahan
e. Kurangi agitasi
 Beritahukan apa yang diharapkan secara jelas
 Tawarkan pilihan jika pasien dapat melakukannya
 Berikan jadwal aktivitas
 Hindarkan perebutan aktivitas, jika pasien menolak permintaan tinggalkan dan kembali dalam beberapa menit
 Libatkan pasien dalam asuhan jika memungkinkan
f. Pendekatan farmakologi
 Takrin (Gogneks) memeprlambat perkembangan penyakit Alzheimer
g. Keterlibatan anggota keluarga
h. Gunakan sumber yang ada dikomunitas.

A. Kajian Teori
I. Pengertian
1. Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, keindahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan, Sadock, 1998).
2. Depresi adalah salah satu bentuk gangguan kekecewaan pada alam perasaan, (affective atau mood disorder) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa (Dadang Hawari, 2001)


3. Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung tidak bersemangat, merasa tak berguna, merasa tak berharga, merasa kosong dan tak ada harapan berpusat pada kegagalan dan bunuh diri, sering disertai ide dan pikiran bunuh diri klien tidak berniat pada pemeliharaan diam dan aktivitas sehari-hari (Budi Anna Kaliat, 1996)
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi adalah gangguan alam perasaan yang disertai oleh komponen psikologik dan komponen somatik yang terjadi akibat mengalami kesedihan yang panjang.

II. PENYEBAB TERJADINYA DEPRESI
1. Kekecewaan.
Karena adanya tekanan dan kelebihan fisik menyebabkan seseorang menjadi jengkel tak dapat berfikir sehat atau kejam pada saat–saat khusus jika cinta untuk diri sendiri lebih besar dan pada cinta pada orang lain yang menghimpun kita, kita akan terluka, tidak senang dan cepat kecewa, hal ini langkah pertama depresi jika luka itu direnungkan terus-menerus akan menyebabkan kekesalan dan keputusasaan.
2. Kurang Rasa Harga Diri
Ciri–ciri universal yang lain dari orang yang depresi adalah kurangnya rasa harga diri sayangnya kekurangan ini cenderung untuk dilebih-lebihkan menjadi estrim, karena harapan-harapan yang realistis membuat dia tak mampu merestor dirinya sendiri hal ini memang benar khususnya pada individu yang ingin segalanya sempurna yang tak pernah puas dengan prestasi yang dicapainya

3. Perbandingan yang tidak adil
Setiap kali kita membandingkan diri dengan seseorang yang mempunyai nilai lebih baik dari kita dimana kita merasa kurang dan tidak bisa sebaik dia maka depresi mungkin terjadi
4. Penyakit
Beberapa faktor yang dapat mencetuskan depresi adalah organik contoh individu yang mempunyai penyakit kronis seperti ca. mamae dapat menyebabkan depresi.
5. Aktivitas Mental yang Berlebihan
Orang yang produktif dan aktif sering menyebabkan depresi.
6. Penolakan
Setiap manusia butuh akan rasa cinta, jika kebutuhan akan rasa cinta itu tak terpenuhi maka terjadilah depresi.

III. GEJALA-GEJALA DEPRESI
1. Gejala Fisik dari Depresi
Gangguan tidur, kelesuan fisik, hilangnya nafsu makan dan penyakit fisik yang ringan.
2. Gejala Emosional dari Depresi
Kehilangan kasih sayang, kesedihan, hilangnya kekuatan, hilangnya konsentrasi, rasa bersalah, permusuhan dan hilangnya harapan.

IV. PATOPSIKOLOGI
Alam perasaan adalah kekuatan/ perasaan hati yang mempengaruhi seseorang dalam jangka waktu yang lama setiap orang hendaknya berada dalam afek yang tidak stabil tapi tidak berarti orang tersebut tidak pernah sedih, kecewa, takut, cemas, marah dan sayang emosi ini terjadi sebagai kasih sayang seseorang terhadap rangsangan yang diterimanya dan lingkungannya baik interenal maupun eksternal. Reaksi ini bervariasi dalam rentang dari reaksi adaptif sampai maladaptif.




Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptif



Responsif Reaksi kehilangan yang wajar Supresi Reaksi kehilangan yang memanjang Mania/ Depresi

1. Reaksi Emosi Adaptif
Merupakan reaksi emosi yang umum dari seseorang terhadap rangsangan yang diterima dan berlangsung singkat. Ada 2 macam reaksi adaptif :
a. Respon emosi yang responsif
Keadaan individu yang terbuka mau mempengaruhi dan menyadari perasaannya sendiri dapat beradaptasi dengan dunia internal dan eksternal
b. Reaksi kehilangan yang wajar
Reaksi yang dialami setiap orang mempengaruhi keadaannya seperti :
 Bersedih
 Berhenti kegiatan sehari–hari
 Takut pada diri sendiri
 Berlangsung tidak lama.
2. Reaksi Emosi Maladaptif
Merupakan reaksi emosi yang sudah merupakan gangguan respon ini dapat dibagi 2 tingkatan yaitu :
a. Supresi
Tahap awal respon maladaptif  individu menyangkal perasaannya dan menekan atau menginternalisasi aspek perasaan terhadap lingkungan
b. Reaksi kehilangan yang memanjang
Supresi memanjang  mengganggu fungsi kehidupan individu
Gejala : bermusuhan, sedih terlebih, rendah diri.
c. Mania/ Depresi
Gangguan alam perasaan kesal dan dimanifestasikan dengan gangguan fungsi sosial dan fungsi fisik yang hebat dan menetap pada individu yang bersangkutan



V. TINGKAT DEPRESI
1. Depresi Ringan
Sementara, alamiah, adanya rasa pedih perubahan proses pikir komunikasi sosial dan rasa tidak nyaman.
2. Depresi Sedang
a. Afek : murung, cemas, kesal, marah, menangis
b. Proses pikir : perasaan sempit, berfikir lambat, berkurang komunikasi verbal komunikasi non verbal meningkat.
c. Pola komunikasi : bicara lambat, berkurang komunikasi verbal, komunikasi non verbal meningkat
d. Partisipasi sosial : menarik diri tak mau bekerja/ sekolah, mudah tersinggung
3. Depresi Berat
a. Gangguan afek : pandangan kosong, perasaan hampa, murung, inisiatif berkurang
b. Gangguan proses pikir
c. Sensasi somatik dan aktivitas motorik : diam dalam waktu lama, tiba-tiba hiperaktif, kurang merawat diri, tak mau makan dan minum, menarik diri, tidak peduli dengan lingkungan

B. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN ALAM PERASAAN
I. PENGKAJIAN
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Genetik
Dikaitkan dengan faktor keturunan
b. Teori Agresi Berbalik pada Diri
Diawali dengan proses kehilangan → terjadi ambivalensi terhadap objek yang hilang → tidak mampu mengekspresikan kemarahan → marah pada diri sendiri
c. Kehilangan Objek
Pada masa kanak–kanak jika terjadi kehilangan → trauma → faktor predisposisi terjadi gangguan pada masa remaja jika terjadi kehilangan


d. Model Kognitif
Depresi terjadi karena gangguan proses pikir → penilaian negatif terhadap diri, lingkungan dan masa depan
e. Teori Belajar Ketidakberdayaan
Keadaan prilaku dan ciri kepribadian seseorang yang percaya bahkan dirinya kehilangan kontrol terhadap lingkungan
Ditandai : tampak pasif, tidak mampu menyatakan keinginan, opini negatif tentang diri.
2. Faktor Presipitasi
a. Putus/ Kehilangan hubungan
Kehilangan pada kehidupan dewasa → faktor predisposisi terjadi gangguan kehilangan nyata/ samar-samar
 Kehilangan orang yang dicintai
 Kehilangan fungsi tubuh
 Kehilangan harga diri
b. Kejadian besar dalam kehidupan
 Peristiwa tak menyenangkan
 Pengalaman negatif dari peristiwa kehidupan → depresi
c. Perubahan peran
Peran sosial yang menimbulkan stressor : bertetangga, pekerjaan, perkawinan, pengangguran, pensiunan.
d. Sumber koping tidak adekuat
 Sosial ekonomi, pekerjaan, posisi sosial, pendidikan
 Keluarga → kurang dukungan
 Hubungan interpersonal isolasi diri/ sosial
e. Perubahan Fisiologik
Gangguan alam perasaan terjadi sebagai respon terhadap perubahan fisik oleh karena :
 Obat-obatan
 Penyakit fisik (infeksi, virus, tumor) → timbul nyeri sehingga membatasi fungsi individu berinteraksi → depresi



3. Prilaku
Prilaku yang berhubungan dengan depresi :
a. Afektif
Marah, anxietas, apatis, perasaan dendam, perasaan bersalah, putus asa, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
b. Fisiologis
Nyeri perut, anorexia, nyeri dada, konstipasi, pusing, insomnia, perubahan menstruasi, berat badan menurun.
c. Kognitif
Ambivalen, bingung, konsentrasi berkurang motivasi menurun, menyalahkan diri, ide merusak diri, pesimis, ragu–ragu.
d. Prilaku
Agitasi, ketergantungan, isolasi sosial, menarik diri.
4. Mekanisme Koping
Reaksi berduka yang tertunda mencerminkan penggunaan eksagregasi dari mekanisme pertahanan penyangkal (denial) dan supresi yang berlebihan dalam upayanya untuk menghindari distress hebat yang berhubungan dengan berduka. Depresi adalah suatu perasaan berduka abortif yang menggunakan mekanisme represi, supresi, denial dan disosiasi..

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pohon Masalah
Resiko tinggi terjadi kekerasan
Yang diarahkan pada diri sendiri

Depresi core problem

Harga diri rendah

Koping individu tak efektif

Koping keluarga tak efektif

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi terjadi kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri berhubungan dengan depresi yang ditandai dengan ide bunuh diri.
b. Depresi berhubungan dengan harga diri rendah ditandai dengan perasaan tak berhjarga tidak ada harapan, murung dan merasa kosong.
c. Harga diri rendah berhubungn dengan koping individu tak efektif ditandai dengan keputusan, berpusat pada kegagalan
d. Koping individu tak efektif berhubungan dengan koping keluarga tak efektif.

III. PRIORITAS INTERVENSI
Pada dasarnya intervensi difokuskan pada :
1. Lingkungan
Prioritas utama dalam merawat klien depresi adalah mencegah terjadinya kecelakaan, jauhkan dari benda–benda berbahaya seperti : gunting, pisau, ciptakan lingkungan yang aman, kurangi rangsangan dan suasana terang.
2. Hubungan perawat klien
Intervensi :
 Bina hubungan saling percaya dan hangat
 Bersikap empati
 Beri waktu pada klien untuk berfikir dan menjawab
 Variabel harus bersedia menerima, diam, aktif dan jujur.
3. Afektif
Tujuan : Menerima dan menenangkan klien bukan mengembirakan atau
mengatakan bahwa klien tidak perlu khawatir
Intervensi : Dorong klien untuk mengekspresikan pengalaman menyakitkan dan menyedihkan secara verbal
4. Kognitif
Tujuan : Bertujuan meningkatkan kontrol diri terhadap tujuan dan prilakunya, meningkatkan harga diri dan membantu memodifikasi harapan negatif
Intervensi :
 Bantu klien mengkaji perasaan → kaji klien tentang masalah
 Terima persepsi klien tapi tidak menerima kepuasan klien
 Bersama–sama mendefinisikan masalah → memberi klien control diri, harapan, realisasi bahwa perubahan mungkin terjadi

5. Intervensi Perilaku
Tujuan : Mengaktifkan klien yang diarahkan pada tujuan realitas
Intervensi : Klien diberi tanggung jawab dalam aktivitas secara bertahap
6. Intervensi Sosial
Tujuan : Bantu klien meningkatkan ketrampilan sosial
Intervensi :
 Kaji ketrampilan sosial, support dan interest klien
 Kaji sumber sosial yang tersedia
 “Roleplay” tentang situasi dan interaksi sosial
 Beri reinforcement positif tentang ketrampilan sosial yang efektif
 Dorong klien untuk memulai sosialisasi pada area yang lebih luas
7. Intervensi Fisiologis
Tujuan : Meningkatkan status kesehatan klien, kebutuhan dasar seperti makan, minum, istirahat, kebersihan dan penampilan diri perlu mendapat perhatian khusus
Intervensi :
 Termasuk perawatan fisik dan therapy somatik
 Jika klien tidak mampu merawat diri → Bantu klien memenuhi kebutuhan nutrisi, tidur dan kebersihan diri.
 Therapi somatik : beri obat anti depressant yaitu : Tricylins dan monoamine oksidasi (MAO)
D. EVALUASI
Adanya perubahan respon maladaptif kearah adaptif klien dapat ;
 Menerima dan mengakhiri perasaannya dan perasaan orang lain
 Memulai komunikasi
 Mengontrol perilaku sesuai keterbatasannya
 Menggunakan proses pemecahan masalah.